Hidup Mandiri

Pemuda Deunong Love Valentine's Day Pumping Heart

Kamis, 29 Juni 2017

APAKAH KITA BEBAS MEMILIH MAZHAB FIKIH?

Sebagian kalangan menganalogikan mazhab fikih seperti pakaian. Kita bebas memilih mazhab fikih, sebagaimana kita bebas memilih berbagai jenis pakaian, karena yang penting adalah menutup aurat. Menurut saya, analogi itu kurang tepat, bahkan dapat dikatakan al-qiyas ma'al fariq (mengqiyaskan sesuatu pada sesuatu yang berbeda). Al qiyas ma'al fariq hukumnya bathil. Alasannya adalah:
1. Pakaian itu sesuatu yang sederhana dan dapat digonta ganti kapan saja, tanpa perlu belajar bertahun tahun. Sedangkan mazhab itu sesuatu yang kompleks yang perlu dipelajari bertahun tahun, sehingga tidak bisa digonta ganti semudah menggonta ganti pakaian.
2. Komponen yang membedakan satu pakaian dengan pakaian lain bersifat hissiyah (konkrit), seperti warna dan benang, sehingga bisa dengan mudah dibedakan oleh semua orang baik awam atau 'alim. Mereka bebas menentukan pilihannya. Sedangkan komponen yang menyusun mazhab bersifat ma'nawi (abstrak) yang tidak mudah dibedakan oleh orang 'awam. Mazhab terdiri dari fatwa mujtahid muthlaq, mujtahid mazhab, mujtahid fatwa, mujtahid tarjih, ahli fikih dengan berbagai tingkatan yang mengelaborasi nash dengan menggunakan berbagai jenis qiyas yang di dalamnya memakai berbagai masalikul 'illah yang berbeda beda antara satu mazhab dengan mazhab lainnya.
Oleh karenanya, mazhab -menurut saya- lebih cocok dianalogikan seperti sebuah rumah sakit atau lembaga pendidikan sekolah. Alasannya:
1. Rumah sakit juga terdiri dari berbagai komponen yang kompleks, seperti dokter spesialis, dokter umum, perawat, pasien, obat obatan dengan berbagai jenis dan dosis.
Membebaskan orang 'awam memilih mazhab sesuka hatinya sama seperti membebaskan mereka memilih rumah sakit dan obat obatan sesuka hatinya, tanpa ada rekom atau rujukan dari dokter ahli. Tentu hal ini berbahaya, karena tidak semua rumah sakit dan obat obatan sesuai untuk semua jenis penyakit. Merekomendasi satu rumah sakit bukan berarti rumah sakit lain salah semua. Membebaskan mereka pergi ke semua rumah sakit akan membuat resep resep obat akan tumpang tindih. Kecuali kalau rumah sakit itu sudah "angkat tangan" tidak sanggup lagi menangani pasien itu, maka monggo ke rumah sakit lain.
Demikian juga dengan pilihan mazhab, orang awam harus dibimbing untuk belajar satu mazhab fikih khusus yang sesuai dengan kondisi daerah tersebut. Membebaskan mereka belajar semua mazhab akan membuat "resep resep" hukum menjadi tumpang tindih. Mewajibkan mereka belajar satu mazhab fikih tertentu, bukan berarti mazhab fikih lain salah. Kecuali kalau mereka sudah pintar memilah dan memilih maka silahkan mempelajari dan mengamalkan mazhab lain yang mu'tabar dibawah bimbingan lembaga pendidikan atau ulama ahli mazhab tersebut.
2. Mazhab itu dapat juga diumpamakan seperti sekolah, karena sekolah juga terdiri dari komponen yang kompleks seperti kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru berbagai mata pelajaran, kurikulum, peraturan administrasi sekolah, komite sekolah dan sebagainya. Membebaskan seorang anak atau orang awam memilih mazhab sesuka hatinya sama seperti membebaskan mereka memilih sekolah sesuka hatinya. Tentu ini tidak logis, karena tidak semua sekolah sesuai dengan kondisi sosial anak tersebut. Mewajibkan mereka memilih sekolah tertentu bukan berarti sekolah lain salah semua.
Sangat tidak mungkin seorang anak hari ini belajar di sekolah SMP, besok di MTsN, lusa di SMP lagi, kemudian di MTsN lagi. Hari ini kuliah di kedokteran, besok di teknik, lusa di tarbiyah, kemudian di pertanian. Mengonta ganti sekolah atau tempat kuliah sesuka hatinya tidak sama seperti menggonta ganti pakaian. Demikian juga mazhab, tidak mungkin kita membebaskan anak anak dan orang awam hari ini belajar dan beramal mazhab syafi'i, besok maliki, lusa hanafi. Menggonta ganti mazhab tidak seperti menggonta ganti pakaian.
Oleh karenanya anak anak dan orang awam itu diwajibkan mempelajari satu mazhab fikih yang sesuai dengan kondisi lingkungannya, agar fikiran mereka tidak kacau dan "resep" hukum jadi teratur. Adapun untuk pakar dan 'alim boleh boleh saja mempelajari berbagai mazhab, sama seperti seorang pakar multi talenta, hari ini mengajar di teknik, besok di kedokteran, lusa di manajemen. Hal ini bisa saja terjadi, karena ia telah bergelar Dr. Ir. MM dan sebagainya. Tapi ingat, orang seperti ini hanya puluhan, sedangkan masyarakat awam itu jutaan. Apakah kita akan "memaksakan" agar orang awam sama dengan para pakar itu?
Latar belakang historis dan kondisi sosial masyarakat Aceh khususnya dan Indonesia umumnya yang menganut mazhab Syafi'i dalam bidang fikih yang telah "dikawal" oleh lembaga pesantren (dayah) selama berabad lamanya, dapat menjadi landasan kuat mengapa mazhab tersebut yang dipilih dan disebarkan oleh ulama ulama nusantara zaman dahulu hingga sekarang.
Wallahua'lam bishshawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar